BAB 33 : 4 JUTA


Bab 33
4 juta

Semalaman  aku tak jua memejam mata. Sakit perih luka ini benar sungguh menyiksa. Kaki tanganku mulai kaku dan teramat sakit di gerak.  ku menatap  jendela, memandang jauh  berpuluh sudut. Menatap langit terlihat  bulan,  melihat bintang  bersinar temarang. Sungguh indah langit terhias.

 Sang  angin malampun ikut berbagi, menerpa wajah ibaku memberi sejuk yang menembus pori  di sertai suara  para jangkrik liar  seolah bernyanyi menyanyikan lagu pesta. Saling bergembira menikmati lagu sunyian malam. Emakku terlihat mendatangiku, menanyakan keadaanku. Walaupun dia tau bahwa aku sangat terperih saat itu. Emakku mulai berceloteh dan mengandai. 

"lee..Andai saja bapakmu masih ada, mungkin kamu ga sesusah ini Le. Emak minta maaf kalau hidup kamu jadi susah. Ini semua salah bapakmu  kenapa pergi ninggalin anak semata wayangnya saat kamu masih butuh lindungan seorang  bapak. Kenapa bapakmu tega ninggalin kita." Emakku bertutur berhiaskan tangis, terisak sendu penuh pilu. 

Aku diam tak bersuara, terus ku pandangi langit indah itu, sampai akhirnya akupun ikut terhanyut. Kembali aku menjatuhkan airmata ini.  Emakku terus menyesali keadaan dan menyalahkan Bapakku. Aku terus terisak tak tertahan. Berdua kami saling menangis. Meratapi nasib yang penuh kekurangan. Nasib kemiskinan.
Di sela tangisan, akupun menceritakan soal di terimanya aku menjadi Pramugara tapi harus ada uang 9 juta sebagai biaya. Aku meminta tolong emakku untuk menawarkan kingku ke tetangga dan orang yang berminat. " Apakah ini semua sudah pasti le ?  Toh kalaupun pasti darimana asal uang yang harus kowe siapkan". Emakku bertanya.

Aku sudah yakin dengan pilihanku. Aku tak peduli bagaimana nanti aku bisa membiayai sisa biaya. Saat ini hanya si  king yang bisa menjadi jalan keluar awal. Emakku pun memasrahkan semua kepadaku. Malam tenggelam pagi menerbit. Aku masih  terjaga menahan sakit. Pagi sekali emakku sudah keluar rumah mencari orang yang berminat membeli si kingku.
Sampai siang emakku belum kembali. Kasihan Emakku, dia pasti berkeliling kemana mana mencari peminat. Sungguh besar perjuangan emakku, dia kembali sore hari dengan membawa seseorang. Setelah tawar menawar harga, ternyata kingku hanya pantas berharga 4 juta saja.
 Akupun ihklas. Dibayarkanlah uang kontan 4 juta. Ku serahkan semua  surat dan kunci motor kepadanya. Dibawanya kingku pergi berlalu dari mataku. Lagi-lagi aku terpukul, dadaku sesak, kembali aku menetes airmata. Dia yang selalu menemaniku ,harus ku jual dan berpisah menjadi milik orang. Selamat tinggal kingku. Selamat jalan.

Emakku memintaku untuk berobat ke rumah sakit karena adanya uang yang baru ku dapat. Tapi aku menolaknya, masih banyak kekurangan yang aku masih bingung darimana mendapatnya. 

"Luka ini pasti sembuh mak, tanpaku membeli butiran pahit yang mahal itu. " Jelasku meyakinkan Emakku.

Aku sedikit tenang, setidaknya 4 juta sudah di tangan. Dengan 4 juta ini, aku sudah bisa menjadi siswa training Pramugara. Wahh tidak di sangka, sangkaanku yang dulu tidak menyangka sekarang menjadi nyata. Hidupku akan berubah tidak susah lagi. Aku harus bekerja keras untuk  ini.

Tiga hari sudah aku mengurung diri, lukaku terlihat sudah  kering, rasa nyeri bercampur  perih perlahan mulai berkurang walau masih tetap terbatasi gerakku tuk berjalan. Besok adalah hari pertama aku belajar. Layaknya anak baru masuk sekolah, ku siapkan selusin  senjata  bertulis. Aku sudah siap  memasuki dunia baru. Dunia yang akan membawaku berubah tidak susah.

Pagi benar aku sudah mandi dan bersiap diri. Berdiri aku di pinggir jalan menunggu bis kota jurusan terminal kalideres Patas 22. Yaahh bis inilah yang dulu sering aku tumpangi bersama puluhan teman STMku. Di lempari bebatuan, botol minuman sampai balok kayu besar. Sudah bertahun aku tidak naik bis kota. Kemanaku pergi, hanyalalah king yang menemani. Sekarang aku harus kehilangan dia dan siap berjubel sesak terhimpit bergelantung di antara puluhan pengguna.
Yahh mau apa di kata. Ini adalah resiko sebuah perubahan yang belum tentu ke arah yang  lebih baik. Tapi setidaknya usaha untuk menuju lebih baik itu sudah kategori paling baik daripada tidak ada usaha untuk membaik, yang ada hanyalah kegigihan  pasrah menjadi apa adanya.  Cukup dengan biasa saja tak butuh yang luar biasa, karena untuk menjadi luar biasa di butuhkan pribadi yang tidak biasa. Nahhhh aku ingin menjadi pribadi pemberontak yang enggah bergigih untuk pasrah apa adanya. Aku mau menjadi tidak biasa.

Duduklah aku di sudut bangku ujung belakang. Dari sinilah aku bisa melihat banyak orang di depanku. Mencoba menganalisa, melihat apa dan bagaimana sosok mereka. Sungguh senang juga melihat tingkah polah para penumpang ini. Ada seorang ibu yang kurang  membayar ongkos. Si ibu dengan mulut panjangnya ngoceh ngalor-ngidul bergaya ala nunung srimulat mlengas-mlengos. Yang katanya udah biasa bayar segitulah, jaraknya cuma deket lah, kurang segitu aja di tagih lah. Sedangkan si kondektur yang bergaya ala malih tong-tong   menagih  bahwa jauh deket ongkosnya sama lah, setoran nanti kurang lah, Kalo ga bisa bayar ongkos besok jalan kaki sajalah dll.
Perdebatan terjadi  hanya karena ongkos kurang 100 perak. Kenapa juga ibu itu tidak memberi, kenapa juga si kondektur tidak mengerti. Hahhhh inilah paras kerasnya hidup  di negeri ini. 

 Di lain sudut terlihat penumpang tertidur dengan mulut menganga lebar, bibir hitam terpecah, mengorok grak grak grok. Nyaman sekali dia, seperti tertidur di kasur hotel bintang lima. Ada lagi sesosok tua renta berbadan kurus bertopi ala koboi berkaca mata hitam dengan rokok menyala di tangan, klepas-klepus menghisap  sebatang rokok lisong sampai pipinya kempot.  Asapnya keluar dari mulut nan sangat  tebal bak knalpot bajaj, tak lama asap kedua keluar dari lubang hidung bak cerobong asap kereta api. Terlihat beberapa wanita mengeluh dan menghempas asap-asap yang menyerang dirinya tapi si tua renta tak punya peduli.

    Yaaah yaahhh inilah seninya bis ibukota. Banyak muatan seni yang bisa di kaji untuk menyimpulkan sebuah misteri Ilahi.



Ini adalah resiko sebuah perubahan yang belum tentu ke arah yang  lebih baik. Tapi setidaknya usaha untuk menuju lebih baik itu sudah kategori paling baik daripada tidak ada usaha untuk membaik, yang ada hanyalah kegigihan  pasrah menjadi apa adanya.  Cukup dengan biasa saja tak butuh yang luar biasa, karena untuk menjadi luar biasa di butuhkan pribadi yang tidak biasa. Nahhhh aku ingin menjadi pribadi pemberontak yang enggah bergigih untuk pasrah apa adanya. Aku mau menjadi tidak biasa.

...Menembus Langit...



BAB 32 : SI KING


Bab 32
SI KING

Siang ini sunguh terik, matahari bersinar bagai mata pedang tajam menyengat diri, halusinasi fatamorgana menari di atas aspal jalan yang terzinahi para   debu sombong.
Andai saja hujan turun, para debu sombong itu akan terpatah sayapnya, sehingga tak kuasa terbang. Menjerit dia kembali ke bumi terinjak mati oleh para kaki manusia keji. Keji karena dia yang menginjak tapi si debu  tetap di maki karena telah mengotori sepatu hitam yang mengkilat  tersemir sang  kiwi.

Ku nikmati teriknya hari dengan hati berseri. Tak nyangka di sangka, aku sudah melakukan test sejauh ini. Ada sedikit kebanggaan tapi tercermin pula keraguan.  Apa mungkin aku yang berandalan ini, aku yang anak jalanan ini bisa seperti mereka para lelaki  ganteng, bersih, rapih dan maskulin.
Perjalanan yang panaspun segera usai. Tibalah aku di rumah. "Ku ambil gitar dan mulai memainkan, lagu lama yang biasa kita nyanyikan." Yaahhhh. Sepenggal lirik lagu hits mengantarkanku untuk mengambil gitar kesayanganku. Ku coba mengelus gitar ini, lama nian dia tak ku  sentuh. Mungkin dia rindu sentuhan jari nakalku yang liar mengerayang serampangan.
Ku nyanyikan  sebuah lagu bercerita tentang teman tapi mesra. Sejujurnya teman yang bisa di ajak bermesralah yang bisa memberikan bahagia tanpa syarat. Tak ada cemburu tak ada curiga. Bebas memilih tanpa pilihan. Ketika  di khianati, Teman mesralah yang pertama bernyali menjadi pengganti menghibur diri.   Dialah yang membuka pikiran kita bahwa masih banyak wanita yang layak di cintai. Tak perlu menGalau diri bahkan menangisi, karena hanya dengan membuka diri, akan banyak di luar sana yang siap menanti menjadi pujaan hati.
Penuh khayal tingkat tinggi, bernyanyi penuh rasa jiwa. Lagu yang  menghibur diri, semua membuatku nyaman dan senang.

Di tengah asyikku bertembang lagu mesra, suara hand phone kupun kembali berbunyi. Ku angkat dan suara wanita yang telah ku kenal memberitahukan bahwa kembali besok aku di haruskan ke kantor pramugara  untuk last interview.

Last interview ? Haahhhh sudahkah aku ada di ujung jalan ? Akankah hidupku berubah tidak susah ?Apakah pramugara ini bisa menjadikankanku lelaki yang berbangga diri ?” Aku memaku diri penuh Tanya dalam hati.

Ke esokan harinya aku bersiap diri untuk memenuhi panggilan yang mungkin akan membuatku senang. Ku panaskan si kingku tercinta, ku cuci bersih dia, ku basuh air berbusa, kugosok dan kukeringkan dengan kain  sapu tangan merah. Si kingku ini sangat setia dan mengerti aku. Dialah sahabat terdekat yang selalu menemani kemana aku pergi. Membelah hujan, menantang panas, terjebak padatnya kendaraan, menghantam lubang, dia tetap bisa membawaku ke arah tujuan.
Setelah selesai menyantap sarapan pagi mie instant berkepala surban, bercampur telur ayam, daun sawi, serbukan bawang goreng dan saos cabai merah aku segera meraungkan si kingku kembali ke jalanan membelah dinginnya pagi menuju harapan yang mungkin  indah pada akhirnya.

Hampir satu jam aku menunggangi kuda besiku. Si kingku begitu terlihat gagah hari ini. Dia bersih, mengkilat dan terlihat terawat. Maklum jarang sekali aku memandikannya sehingga dia selalu menunjukkan muka Judes dan kesal. Tibalah aku di Kantor yang berkali-kali aku kunjungi ini. Ku parkir si kingku di bawah pohon rindang nan sejuk, berharap dia nyaman menungguiku.

 "Sabar ya king, tunggu abang ya. Abang pergi tuk sesuap nasi, tak lama abang pasti kembali." Celotehku dalam hati sambil menepuk mesra  badannya.

Segeraku  menuju kamar mandi, lagi-lagi di tempat ini aku bersolek diri. Mengganti kaos hitamku  yang bergambar wanita sexi dengan kemeja cokelat bergaris hitam. Akupun tak lupa menatapkan wajahku ke cermin buram. Ku basuh dengan segenggam air berharap wajah ini berubah sedikit tampan seperti sahrul gunawan tapi tetap saja bagai tukang bajaj  mangkal  di perempatan jalan. Kaki naik ke atas kemudi, mulut mangap mengorok, mata setengah merem setengah melek, sesekali si lalat nakal hinggap menggoda kumis tebal bergaya   pagar kecamatan, rambut cepak berjambul ayam berbuntut kuda. Sungguh damai  bak hidup tenang  tanpa mengejar setoran.

Sampai bermenit aku mendesain wajah dan rambutku, tetap saja seperti ini. Aahhhh sudahlah. Memang begini adanya. Syukuri saja.
Dengan penuh percaya diri akupun melangkah tegap menuju ruang pertemuan. Ku busungkan dada, ku dongak kepala, siap menghadapi apapun yang terjadi. Beberapa kerumunan sudah ada di ruangan itu. Para wanita cantik dan pemuda gagah tampan sudah menghias ruanganan. Bila di ibaratkan isi rumah, mungkin para wanita cantik itu bagai bunga di atas meja nan indah menebar harum. Sedangkan untuk si pemudah tampan, di ibaratkan lukisan pedesaan yang indah terpampang  menyejukkan hati. Nah kehadiranku di ruangan ini mungkin hanya pantas menjadi asbak rokok atau tong sampah hitam di bawah kolong meja. Sungguh jomplang. Aku iri sama mereka, pasti hidup mereka sangat berkecukupan. Lahir dari keluarga kaya. Semua serba ada. Tak perlu berpanas ria di jalanan ibukota, hanya berjam bermain Ps di kamar AC  nan sejuk. Wajar kalo mereka terlihat bersih karena dunianya jauh berbeda. Mereka tinggal di paris, aku hanya di perempatan cimanggis.
Tak hentinya aku memperhatikan Keindahan di ruangan hebat ini. Berisikan para pemuda terpilih sampai akhirnya serombongan orang masuk ke kelas dan bersiap diri untuk menyampaikan sesuatu.
Ku tatapi satu persatu rombongan itu, mereka terlihat seperti manusia manusia yang berwibawa. Terus ketatapi bergiliran dari kanan ke kiri sampai akhirnya dia lagi dia lagi. Kammpret. Si perempuan durjana itu ada dan memasang muka angkuh tanpa senyum. Sekilas kami bertatap dan menunjukkan muka tidak senang dengan adanya aku.

"Selamat pagi teman-teman sekalian, saya mewakili perusahaan mengucapkan terima kasih atas waktu dan niat tulus teman sekalian untuk menjadi salah satu bagian dari keluarga kami. Saya mendapatkan informasi dari team rekruitment bahwa anda semua yang berada di dalam ruangan ini telah lulus seleksi dan siap menjadi Pramugari Pramugara yang siap terbang keliling indonesia dan manca Negara." Seorang pemuda perlente berbicara menyampaikan informasi yang sangat membahagiakan. Suara tepuk tanganpun bersaut paut bergemuruh. Ku lihat teman- temanku saling berpeluk berjabat saling mengucapkan selamat. Hanya aku sendiri yang tidak punya sahabat untuk di jabat tetapi aku tetap bahagia. Ku kepalkan tanganku dan ku jabatkan tangan kiri dengan kananku sendiri. Ku bersyukur dalam hati. Alhamdulilah ya Allah, Aku sudah di ujung jalan. Aku sudah ada di pintu masuk menuju dunia baru.

"Baiklah teman teman, saya ucapkan selamat datang di perusahaan kami. Persiapkan diri teman-teman untuk menghadapi training yang berat dan melelahkan. Sekali lagi terima kasih."
Pemuda yang murah senyum dan perlente itu segera berlalu di ikuti para pejabat tinggi lainnya. Tinggallah sang perempuan durjana itu sendiri dan seperti bersiap ingin menyampaikan sesuatu.

"Baiklah ini informasi penting yang harus kalian ketahui, tolong di perhatikan baik baik”.
Dia berbicara sambil memegang spidol bersiap ingin menulis sesuatu.
"Biaya yang di butuhkan untuk menjadi Pramugari dan Pramugara adalah sebesar RP.25 juta, dimana perusahaan memberikan bea siswa kepada kalian sebesar RP. 16 juta, Jadi sisanya adalah RP. 9 juta. Nah uang sebesar 9 juta inilah yang harus kalian biayai sendiri".  Semua teman-temanku tampak santai mendengar informasi ini, sedangkan aku bak jenggot pak tua terbakar puntung rokok. Bagai mendengar kabar sang miskin mendapat lotre jutaan. Aku benar - benar shock.
“Hahhh bayarku dalam  9 juta?”Tanyaku dalam hati
"Kalian tidak usah takut rugi. Uang yang kalian keluarkan 9 juta itu tidak akan seberapa di bandingkan gaji yang akan kalian dapatkan. Setiap bulan kalian bisa menerima total gaji berkisar 5-6 juta." Si durjana itu kembali menjelaskan.
Ini kedua kali aku terkaget lagi. Bukan sekedar jenggot pak tua yang terbakar, tapi si kumis keritingnya pun ikut terbakar. Bukan hanya si miskin menang lotere, tapi juga dapat bidadari cantik yang siap melayani penuh  kenikmatan setiap hari.
ini sesuatu di luar perkiraaanku. Luar biasa  gaji seorang Pramugara ini. Lima juta. Woowww. Buuueesaaaarrr sekali ( logat surabayaan ).
"Tidak hanya gaji sebesar 5  juta, kalian akan dapat asrama di perumahan yang nyaman, ada transportasi antar jemput, asuransi kesehatan dll. Gaji itu hanya untuk biaya makan kalian saja." Celoteh si durjana itu.
Aku sangat terkagum dengan besarnya gaji yang di dapat dan fasilitas lainnya. Sekarang aku  seorang kurir yang bergentayangan di jalan, cuma berpenghasilan 700 ribuan. Uang makan 10 ribu dan bensin 10 ribu. Sekarang ada  peluang di depan mata punya gaji sebesar 5 jutaaan. Manusia  tolol mana yang tidak berubah menjadi pintar apabila ada  kesempatan seperti ini. Orang gila saja masih terangsang apabila melihat wanita cantik berlalang seliweran di hadapan wajah penuh using bahkan Nyamuk saja punya nyali menghisap darah walau tamparan tangan si empunya  bisa membuatnya mati tanpa sempat berlari.
“Yaahhh. Hidup memang pilihan. Sudah waktunya aku menentukan sikap. Aku harus ambil peluang emas ini.  Tapi bagaimana dengan uang Rp. 9 juta itu?” Tanyaku penuh siksa.
Memikirkan 9 juta, otakku terus berkeliling bak hansip ronda malam memukul si pentungan  ke telapak tangan sambil berjalan tengok kanan-kiri mengintai gerak gerik orang mencurigakan. Terus berputaran mengelilingi desa. 

"Itu saja informasi yang saya sampaikan untuk hari ini. Sekali lagi selamat bergabung dan kita akan segera memulai training 4 hari dari sekarang. Silahkan semua di persiapkan dengan baik. Terima kasih." Si durjana mengucap pisah dengan gaya sombongnya, berjalan lenggak-lenggok macam  kontes putri indonesia sok kemayu. Pinggul besarnya di geol-geolkan macam penari rongeng dari karawang.
Sambil berjalan menuju parkiran motor, otakku masih terus berkelana berkeliling mencari solusi. Seperti pengembara buta dengan seekor monyet di pundakknya. Menitih jalan dengan tertatih bertopang  tongkat sakti menuju ke utara  mencari kitab suci. Halaahhh ngawur.
Sial. Empat hari saja waktu yang ku punya. Kemana ku harus mencari kemana. Uang 9 juta itu sangat banyak. Aduhhhh sungguh penat tingkat tinggi. Galau menusuk hati. Sedih membusuk di jiwa, perih hati membakar dada. Ku hampiri si kingku yang sabar menunggu. Terlintas langsung di pikiranku ketika menatap si kingku ini. Hanya dia harta yang ku punya. Haruskan ku jual Si kingku ini. Yahhh harus.
Melalui  dia aku bisa dapatkan uang itu. Segera ku  pulang dan mencoba merazia otakku agar bisaku mencari  cara  menjual si kingku  ini dengan tergesa.
 Di sepanjang perjalanan aku terus berpikir keras. Tak tegaku   menjual sahabatku ini. Aku sedih terkacau galau. Teringat berdua kami mengarung ibukota. Berdua Berlindung hujan di bawah pohon rindang, berpanas terik membelah kemacetan. Hanya dia yang selalu ada mengerti dan menemani. Ohhh kingku. Maafkan  aku.
Jalan agak sepi lurus lancar bak jalan  pribadi. Ku coba  menambah sedikit  kecepatan agak  kencang.
Setelah kecepatan bertambah kembali aku coba mengurangi lagi tapi sungguh tak ku sangka, gas motor sudah aku kurangi tapi kecepatan terus semakin tinggi. Terus meraung tak bisa ku kendali. Astagaa ya Allah. Aku panik. Beberapa meter di depanku sudah waktunya membelok. Si kingku  terus saja melaju kencang. Aku benar sungguh  bingung entah  mesti bagaimana. ku coba untuk sedikit menginjak rem berharap kecepatan berkurang sehingga aku bisa membelok di tikungan  depan  Tapi ban belakang si king langsung ngesot dan oleng, tak alang lagi aku hilang kendali. Kami berdua jatuh saling bertindih meluncur cepat di atas aspal tajam. Sempat ku menoleh kendaran di belakangku, terlihat truk kontainer besar nan gagah perkasa dengan bermuatan besi tembaga. Yaaaahhh. Aku pasrahhhh. Ya Allah, kalau memang hari ini aku harus mati....
Terlihat celanaku mulai terkoyak, jaketku robek berdedel berkeping berterbangan. Aku masih terus memegang Si kingku sampai akhirnya kami berdua terpisah saling terhempas  terlepas menuju derita kami sendiri. Dia terpental di depanku menjauhiku. Aku masih sempat melihatnya terbentur trotoar jalan, berputar beberapa kali. Aku sendiri entah apa yang terjadi. Aku hanya mendengar suara rem mobil berhenti sangat mendadak dan teriakan histeris sampai akhirnya badanku seperti terbentur dan tersangkut di sebuah benda. Ku coba membalik badan dan melihat dimana aku berada. Astagaaaaa. Ternyata aku berada di sebuah kolong mobil metromini. Aku tersangkut di sela ban mobil ini. Ku coba bangkit dengan sejuta perih beribu  nyeri, kepalaku  berat dan sungguh pusing yang sangat teramat. Ku perhatikan sekujur badanku penuh goresan luka  dan tetesan darah segar di sana sini, tangan kiriku, kaki kiriku penuh tetesan darah merah. Ku paksa untuk bangkit berdiri. Berjalanku tertatih menuju sang supir yang terlihat panik dan shock. Mungkin saja dia mengira telah menabrakku sampai mati.
Sang supirpun segera turun diam membisu. Dia terheran melihat aku masih bisa berjalan ke arahnya. Segera ku ulurkan tanganku dan menjabat tangannya sambil memeluk erat. Ku bisikkan kata terima kasih karena telah menginjak REM dengan sigap dan tepat.  Andai terlambat, mungkin aku sudah tak selamat.
Segera orang berbondong menolongku, merengkuhku dan membawaku ke tempat teduh, termasuk si kingku di bawa pula di hadapku.
"Motormu ga ada yang rusak mas, soalnya tadi saya lihat motor mas ini menindih badan mas , spertinya keadaan mas yang parah." Seorang penolong yang melihat kejatuhanku bercerita.
"Mas ...ga apa apa mas ? Saya lihat tadi kok mirip adegan film action di TV mas. Ngeri saya lihatnya." Beberapa orang mencoba melihat dan menanyakan keadaanku. Akupun di berikan segelas air, mencoba untuk mengurangi panikku. Ku atur nafasku. Berehat diri untuk menenangkan diri.

Setelah di rasa cukup, kembali aku mencoba berdiri dan menganalisa ketahanan dan keseimbangan badanku sambil memeriksa keadaan si king. Yahhh. Aku rasa aku masih sanggup untuk pulang. Tampak salah satu penolong menyalakan motorku dan memeriksa keadaannya. Ternyata kawat gas si kingku kotor kurang pelumas sehingga berkarat, macet  dan tersangkut. Setelah di periksa dan di perbaiki, kembali aku melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan sangat pelan sekali.

Tibalah aku di rumah bak orang gila yang jadi pusat tontonan, semua tetangga heran melihat keadaanku yang bagai orang pulang perang. Wajah melas penuh bedakan debu, meringis rintih , tertatih melangkah bak anak baru di sunat. Emakku seketika menangis histeris tak tega teriba melihatku penuh luka. Di bantunya aku berebah, mengganti semua baju dan celanaku yang sudah compang camping. Ku bersihkan lukaku dengan air, walau perih ku rasa, ku coba untuk merasanya. semakin perih  luka ini terasa, akan semakin  menyadarkanku  bahwa menjadi orang yang tidak mampu ke rumah sakit itu adalah orang yang tolol juga bodoh karena tidak sanggup mengobati diri sendiri. Jangankan membiayai sebuah luka, memasuki halaman rumah sakit saja tak punya nyali karena  itu  lebih membuat sakitku membusuk dan memecah otak ketika di hadapkan dengan nominal angka di atas kertas sebuah  kwitansi pembayaran.

Aku berdiri di sudut ruangan kamarku. Ku pandang jauh mata ke depan penuh hampa. Ku  kepalkan tanganku sangat erat. Darahku mendidih, Jantungku bergenderang, nafasku sesak, mataku mulai  lelinangan air mata yang membasahi kelopak.  Makin lama makin tak terbendung ,diapun jatuh penuh keihklasan , terjun bebas penuh kesedihan. Merengkuh bumi pecah terberai.
 Aku semakin terisak, berkali ku usap berkali  sesenggukan tanpa jeda. Mencoba mengeringkan mata tapi derasnya linangan tak mampu tertahan . Bagai  air bah, airmata ini terus berjatuhan.

 Mengapa hidupku di penuhi kesusahan, kenapa anak seusiaku yang seharusnya meniti ilmu menggapai cita tinggi harus bertarung sendiri bertahan hidup tanpa bantuan siapapun. Aku sekarang yang terluka harus menahan luka  karena ketidakmampuanku untuk mengobati diri. Uang 20 ribu saja terlalu najis hinggap  di kantongku. Bagaimana aku punya nyali mengobati diri menuju  rumah sakit sombong yang melayani sakit hanya  apabila bermateri.
Aku sangat  menyayangi hidupku. Lebih baik aku menyiksa tubuh ini daripada penuh luntang-lantung mencari hutangan penuh hinaan, tergeletak berperih di lantai lorong rumah sakit berharap uang bisa tercari untuk segelintir butiran pahit yang harganya  melebihi sepiring nasi berlaukkan teri.

Biar...biar ku nikmati lukaku ini. Ini akan membuatku semakin berontak. Aku akan terus berontak untuk menjauhi kemiskinan ini.

“Aaahhhhhhhhhhhhh.. Bangsaaatttttttttttt”

Aku berteriak menangis dan memukulkan tanganku ke dinding kamar berlapis papan  tipis   sampai hancur. Aku tersudut terduduk terisak  menangisi keadaan. Menyesali kemiskinanku. Merasakan penderitaanku. Derita anak semata wayang tak berbapak. Di landa sakit hanya bisa menangis. Menahan luka dengan impian. Melawan sakit dengan ambisi.  Impian dan ambisi untuk tidak susah....




Tibalah aku di rumah bak orang gila  jadi pusat tontonan, semua tetangga heran melihat keadaanku yang bagai orang pulang perang. Wajah melas penuh bedakan debu, meringis rintih , tertatih melangkah bak anak baru di sunat. Emakku seketika menangis histeris tak tega teriba melihatku penuh luka.

…Menembus Langit…



BAB 31 : MEDEX


Bab 31
MEDEX

Pagiku ini berselimut jutaan tanya yang terpendam galau di hati nun paling lubuk. Jalan hidupku yang terus berbayang hitam, tersasar di sebuah hutan lebat tak berhuni. Hanya mata liar si binatang buas nan sombong seakan ingin melumat rapuhku, menjilat takutku, melebur semangatku untuk terus bertarung merubah hidup. 

Merenung diri menatap kosong. Memikir keras akankah aku terus begini. Bagaimana masa depanku nanti. Mau jadi apa aku ini. Akankah terus ku mengembara di jalanan yang mendidikku menjadi lelaki beremosi tinggi. Sering kali ku bersumpah serapah di jalan karena keterbatasan gerak seseorang dalam berkendara. Tanpa sadar, pengendara  yang terhujat  adalah sesosok tua  ingin selamat yang  enggan bergusrak  tergusruk seperti aku yang Selalu membanggakan kecepatan, meraungkan  knalpot, berkelit, memotong, menyalip membuat orang mengelus dada bahkan sampai berteriak marah sembari menyebut lengkap semua  binatang peliharaannya. "Tai anjin, Pantat babi, Muka monyet, kadal  buntung dan serapah binatang lainnya.


Lamunanku terbunuh  pudar berterbangan tak kala suara telephon genggam Nokia pisang Yang ku sayang mengumandangkan lagu kenangan. Aku terbelalak ketika mengenal nomor  Sang pengunjung. Yaahhh ini dari kantor Pramugara  itu.
"Mas pria, selamat ya, anda lulus  Psikotest, selanjutnya Mas pria  datang ke balai kesehatan penerbangan di Kemayoran untuk melakukan  medical check-up sebagai test terakhir.  Besok jam 6 pagi sudah standby ya Mas. Terima kasih."
Baru saja tadi aku terlamun, sekarang malah  berbengong dengan  Si nokia pisang tersayang yang masih  melekatkan diri ke sepasang gendang Si telinga caplang. mulutku  menganga, badanku  melemas, kaki seperti tak berpijak berasa melayang di atas air bergenang.
Psikotest yang aku benci bercaci maki, dimana aku lebih memilih di gebuki para wanita sexi daripada berjibaku dengan pertanyaan yang membuat isi otakku serasa mati suri. Yaahhh. Ternyata memberikan aku keberuntungan dan kelulusan.

“Ayo Priyo semangat. Selangkah lagi." Nuraniku meyakinkanku   memberi air suci, udara segar untuk berpengharap baru.
Akupun bersiap diri menyambut test terakhir besok. Ku putuskan untuk tidak bekerja lagi hari ini. Aku hanya ingin bermalas di rumah menyimpan tenaga. Seperti kucing persia yang tidurnya telentang ala manusia, ingin berselonjor badan di  lulur pijat oleh tangan halus  para  perawan sawangan.

Pagi benar aku sudah terjaga. Mengurus diri, membasuh kurusku ini, menyikat para ksatria putih, menggunting kuku peraba daging dan membunuh aneka bulu yang mengganggu. Kucoba merapihkan diri dengan pakaian rapih  dan Segera  bergegas meraungkan motorku menuju Kemayoran. Sudah terlihat beberapa pengunjung di balai itu. Sekumpulan pramugari yang mengelompok berdiskusi. Beberapa mata para pramugari menatap kedatanganku. Mungkin mereka mengetahui bakat terpendamku bahwa aku adalah lelaki perkasa yang bisa melindungi mereka dari apapun, ku coba sedikit melempar senyum tapi hanya wajah melengos yang ku dapat. Hahhhh sial.  Ternyata aku tak menarik seperti apa yang aku harap. Mungkin aku terlalu sangat-sangat minimalis. Ganteng ga banget, penampilan minus. Tapi  tak mengapalah. Aku hanya ingin menilai diri sendiri saja kok. Aku tak berniat menebar pesona. 

Segera aku pergi ke bilik pendaftaran dan mengantri di depan bilik sang dokter. Check pertama adalah mengambil darah dan buang air seni. Di sela mengantri, ku lihat wanita  di depanku takut  histeris melihat sang kecil tajam berdiri tegak  mengoyak kulit lembut menghisap si merah. Tampak pucat pasi si wajah cantik melihat kulit   putihnya tertusuk duri besi.  Meringis dia mendesah mesra  memanggil nama si Ayank.
Kesakitan masih  dia rasa   sesudah  duri besi di lepas. wanita itu masih menyeringai penuh ketakutan, ber-ayank-ayank dia ucapkan. Tapi dasar wanita cantik. Biarpun meringis penuh sakit, menyeringai  ketakutan jejeritan tetap saja mencerminkan wajah cantik. Beda jauh dengan  si jelek, tak kala meringis menyeringai, yang nampak  malah macam  burung hantu bertengger di ranting kering berselimut malam  dengan mata meletat-melotot  membuat menjerit  lari  orang terbirit.

Gilirankupun telah tiba. Bersiaplah aku menerima si duri besi dengan tatapan cinta. Ku pandang  duri besi itu penuh mesra menembus kulitku. Terhisap pelan si darah tercurah. Darah inilah yang harus menghantarkanku ke hidup yang lebih baik.
Di cabutlah sudah si duri besi dan di lanjut dengan di mintanya aku  mengisi sebuah botol kecil dengan air seni.
Segera ku curahkan air seniku dari sebatang  daging yang ku bangga. Dia membatu keras nan  gagah digdaya. Bagai  balokan kayu kuat yang  di jadikan ganjel truk di pinggiran pantai pantura nan berpapan kayu bertuliskan "ku tunggu jandamu" yang mana hampir bersamaan semua  truck pantura itu  berbaris rapih dan bergoyang penuh desah ketika  sang supir  bergumul basah   dengan jablay berharga 50 ribu sajahh.
 Terus kupandangi  se-batang daging batu yang siap menusuk ke  lembah gelap. Ku tusuk dengan perlahan di selarasi  musik klasik nan  romantic. Lampu temaram nan suram, mata terpejam, mendesah dalam, wajah menatap atap, ku celup, ku cabut, ku tekan, ku tarik, ku putar terus ku kubergoyang pelan dan sampai akhirrnya  

“waaaduhhhhhh”.

Lagi-lagi aku meracau. Botol tadi sudah penuh terisi bahkan sampai  luber. Kembali aku berkhayal mengenai selangkangan. Aahhhhhh. Kesal rasanya. Aku harus focus dan yakin bahwa air seni ini akan membuatku menjadi lelaki yang layak di hargai. Bukan bicara mengenai si batang batu ini. Dasar Mupeng.

Usai sudah si air seni, akupun berlanjut ke lain bilik untuk melakukan Test Mata. Di hadapkannya aku dengan sebuah papan bertuliskan huruf dan nomor. Dari mulai terbesar sampai terkecil.
"K M N"
"P B G"
Begitu seterusanya sampai yang terkecil, sampai mataku menyerah kalah, tak sanggup lagi untuk membacanya.
Sang dokter berucap agar aku terus menjaga mataku agar terhindar dari kerusakan.
Kembali aku berlanjut menuju lain bilik lagi. Setelah mengantri, gilirankupun tiba. Bilik ini di sebut Audiometri yaitu test pendengaran telinga. Setelah memasuki bilik itu, akupun segera di minta untuk masuk ke sebuah box kecil dengan memakai sebuah alat pendengaran macam head set.
"Kami akan memberikan suara atau sinyal tentang bunyi-bunyian. Kalau anda mendengar bunyian itu silahkan tekan tombol ini dan anda hanya boleh melepasnya pada saat bunyian itu hilang". Si dokter mencoba memberi penjelasan.
Akupun memasuki ruangan berkotak kecil itu dan menutupnya lagi. Segera ku pasang si headseat dan mencoba konsentrasi penuh menunggu bunyian apa yang akan ku hadapi.
"Ngiiiiiinnnnggggggg." Yahh dia datang. Inilah bunyian yang di maksudkan. Mendengung lirih hanya di telingaku sebelah kiri. Akupun menekan tombol yang di maksud. Makin lama bunyian itu makin lirih dan menghilang. Segera ku lepas jempol tanganku untuk tidak menekannya lagi.
"Ngggooooooooonnngggggg nggiiiinggggg." dia datang lagi. Sekarang di sebelah kanan. Terus ku lakukan hal yang sama. “Ngang.... nginggg.... nguunggg.... “ kuping kiri kuping kanan. Terus begitu selama 5 menit.
Setelah di rasa cukup, akupun segera ke luar  dari kamar kotak itu dan kembali mengantri di luar bilik untuk test berikutnya. 

Bilik berikutnya adalah check fisik. Setelah giliranku masuk, sang dokter yang sudah sangat sepuh, memintaku untuk menanggalkan semua pakaiannku, hanya tersisa  celana segitiga hitam yang melekat.
sepintas ku lihat  si batang batu sudah tak digdaya lagi dan tak gagah pula. Dia menjadi kecil lucu menggelikan.  seperti tanaman liar putri malu. Tersentuh langsung ciut. Bagai macan ompong tak bertaring. Mungkin karena pemandangan sepuh yang terlihat mengancam diri. Menelanjangiku untuk di siksa sampai nyeri. Hiiihhiiiiii kasihan Si batang batu, sekarang dia berubah nama menjadi Si keriput penakut.

Di  periksalah  seluruh tubuhku dari kaki sampai kepala. Entah apa yang di lakukan, aku hanya pasrah berbaring seperti wanita yang siap di lucuti . Di bukanya mulutku, di periksa dengan tembakan sinar sang lampu, di ketuk dengkulku dengan kayu macam palu.
Selesai sudah di bilik fisik, pemeriksaanpun di lanjut dengan memeriksa para ksatria putihku. Dimintanya aku berkumur, berebah dan di seranglah  ksatriaku, di ketuk-ketuk, di tusuk-tusuk. Setelah  ksatria putihku di periksa, aku diminta untuk membersihkan beberapa karang yang bersarang dan menumpang.

Akhirnya semua test sudah aku lakukan. Aku hanya di minta untuk menunggu hasil. Ku menunggu ditemani bisu. Semua yang ada di ruangan ini tampak berkawan, bercanda, tertawa ria. Aku sendiri harus dengan siapa?. Tak mungkinlah aku tanpa kenal ikut bergabung dan mencoba menjadi bagian dari sebuah perbincangan yang sama sekali tidak aku mengerti.
Mereka sangat bahagia dengan sekumpulannya masing masing. Aku masih saja membodohi diriku sendiri dengan mulut tertutup, terdiam bisu. Ku hanya menjadi sang penglihat saja. Menjadi aktor tanpa peran pendukung, berperan bisu tersendiri di hutan sepi.

Setelah cukup peranku menjadi si bisu, hasil testpun segera di umumkan. Satu persatu sebuah nama di panggil bergantian mengambil secarik kertas hasil pemeriksaan. Ada yang senang, ada juga yang menggerutu. Namakupun akhirnya di panggil, di berikanlah aku sebuah kertas, aku membaca dan terlihat tulisan FIT. Alhamdulilah. Aku fit. Aku sehat. Di mintanya aku menandatangi selembar kertas dan akupun di bolehkan pulang.
Aku sangat bahagia. Test ini sudah terlewati dengan mulus. Tak ada hinaan Si perempuan durjana. Tak ada test yang membuat otakku mati suri. Tak ada interview yang membuatku terharu. Kali ini semua terasa mulus halus. Bagai rambut gadis shampo nan lembut sampai para kutu terpeleset terjatuh. Alhamdulilah






Terus kupandangi  se-batang daging batu yang siap menusuk ke  lembah gelap. Ku tusuk dengan perlahan di selarasi  musik klasik nan  romantic. Lampu temaram nan suram, mata terpejam, mendesah dalam, wajah menatap atap, ku celup, ku cabut, ku tekan, ku tarik, ku putar terus ku kubergoyang pelan.

...Menembus Langit...