bab 56 : REFLECTION



Suasana di ruangan ini sangat penuh dengan keceriaaan. Wajah-wajah segar tersirat sesegar sang embun sejuk yang turun dari gunung menyelimuti lembah nan temurun ke kaki bukit menerpa rerumahan melalui jendela bercelah dan terberai hilang menghempas bumi. Pancuran bergemericik jatuh ke kolam di sambut riang riuh para mahluk bersirip bermacam warna saling berlaluan, menciptakan rasa damai di hati jauh dari kegalauan. Sangat hebat alam ini di cipta.

Sudah hampir satu minggu aku di pucuk bukit ini. Menempa ilmu luar biasa di luar kebiasaan orang biasa. Sangat tidak biasa. Sungguh sangat membuatku bangga. Hebat. Semua kelemahanku di obras abis tanpa sisa. Semua kesombonganku telah mempermalukanku.
Malam terakhirku sudah tiba. Di ajaklah kami berkumpul di aula besar untuk saling bertatap diri dan menilai hati. Saling memberi masukan dan saran, bernasehat dan berjujur kata mengenai kekurangan kita. Terkadang kita membelalak mata tak kala kita melihat kekurangan orang lain, tetapi kita memejam mata tak kala kekurangan itu ada di dalam kelopak mata kita sendiri. Dengan mudahnya menilai kesalahan orang tapi tidak sadar dengan kekurangan diri sendiri.

“Baiklah teman-temanku sekalian. Inilah saat yang tepat untuk mengetahui siapa diri kita sebenarnya.” Mas Toni berucap.

“Aturannya adalah satu persatu akan duduk di kursi panas di depan ini dan bagi siapa yang menduduki kursi ini akan mendapatkan saran, pesan dan nasehat mengenai apapun yang ada dalam pribadi kalian. Soal kepribadian, sikap yang tidak menyenangkan dan bagaimana anda harus memperbaiki diri dan berubah ke arah yang lebih baik”. Ucap Mas Toni.

Kami semua saling bertatap. Kursi panas itu bagaikan kursi kutukan. Di situlah akan ada kebebasan untuk berexspresi. Menilai kelakuan orang lain tanpa merasa melukai atau merendahan. Semata-mata hanya untuk mengingatkan untuk bisa menuju kearah yang lebih baik. Satu persatu kami bergiliran menuju kursi panas itu. Satu persatu teman-teman kami mulai berjujur ria. Suasana lucu tegang, sedih sampai nangispun terjadi. Masing –masing saling terbuka memberikan pendapat dan saling tulus menerima masukan. Akhirnya semuapun larut dalam kekurangan diri masing-masing. Semua sangat menyadari bahwa kami semua adalah pribadi yang lemah.
Waktu menunjuk tengah malam. Suara jejangkrikan bagaikan musik sedih menyayat hati. Gelapnya malam tanpa bulan semakin membuat suasana ini tenggelam ke dalam kegelapan. Hanya puluhan lilin yang terkikis leleh panas memancarkan obor api kecil meliuk-liuk menerangi gelap. Semua pikiran kami terbawa dalam larut kegelapan. Larut dalam kekurangan.

“Teman–temanku yang saya banggakan. Menjadi seorang Pramugari/Pramugara adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kita tidak hanya sekedar melayani. Kita tidak hanya sekedar memberi minum dan makan, melempar senyum, menyapa dengan suara ramah tapi kita juga akan mempertaruhkan nyawa kita demi keselamatan dan nyawa penumpang kita dan juga nyawa kita sendiri.” Mas Toni berjalan mengelilingi kami sambil terus bernasehat. Mengeluarkan kata berpetuah yang sejuk di dengar hati.

“Pernahkan kalian terpikirkan di saat kita pergi untuk bekerja. Memakai seragam, memakai wing terbang, berdandan wangi berelegan, menarik koper berjalan anggun di sepanjang bandara di tatapi puluhan mata yang mengagumi, tetapi….tetapi itu hanyalah untuk yang terakhir kali kalian menginjakkan kaki di bumi. Kalian tidak berpulang lagi ke daratan. Pesawat kalian hancur meledak di langit dan terbakar berkeping terhempas ke bumi. Kalian mati tanpa jasad. Kalian mati hangus terbakar. Kalian mati dengan tubuk tercabik cabik tak utuh lagi daging di rangka ini. Kalian pikir ini pekerjaan main-main? Hahh? kalian pikir ini pekerjaan Cuma batu loncatan? Ayooo jawabb?” Mas Toni membentak kami dengan terus menguraikan kata perih menyayat hati. Suara paraunya bernadakan takut penuh kekhawatiran. Menampar kesadaran kami bahwa ini adalah pekerjaan yang dekat dengan resiko MATI.
Suara sesenggukan ratih mulai terdengar. Di susul ilma dan hampir semua sahabat wanitaku sesenggukan meneteskan benih kerlingan airmata. Semakin dan semakin larut dalam sedih.

“Sadarkah kalian bahwa kalian bisa seperti ini karena orang tua kalian. Kalian bisa tumbuh besar dan serba kecukupan karena orang tua kalian. Tahukah kalian bagaimana bapak ibu kalian bekerja mati-matian banting tulang demi kesuksesan kalian. Bertahun tahun peras keringat dan darah hanya untuk menafkahi kalian. Dari bayi kalian di timang, di sayang, di beri makan, di belikan apapun yang kalian minta. Tapi apa balasannya? Sekarang kalian sudah besar bisanya Cuma melawan. Membantah. Merasa sudah pintar. Merasa sudah dewasa. Apa yang kalian bisa hah? kalian Cuma bisanya mengemis minta uang. Kalian selalu mengerogoti orang tua. Sedikitpun apa pernah kalian memberikan secuil kebahagiaan? pernah kalian berbalas budi walau hanya sekedar membelikan peci dan sarung untuk bersholat diri? Pernah? Ayo jawab? Pernah kalian memberikan ibu kalian sepasang sandal dan pakaian sederhana? Pernah tidak? Ayo jawab? “ Suara Mas Toni makin menggelagar dan beremosi tinggi. Semakin lantang dan semakin menghancur leburkan hati kami. Suara isak tangispun semakin keras.

“Belum bisa membalas budi saja kalian sudah berani melawan orang tua. Sudah berani membantah. Bayangkan kalau sekarang kalian di sini dan besok pulang ke rumah tiba-tiba saja bendera kuning berkibar di depan teras kalian. Bayangkan kalian pulang di sambut dengan keranda mayat. Bapak kalian meninggal dunia. Mati tak bernyawa. Bayangkan kalau ibu kalian meninggal dengan sakit hati yang melekat karena luka yang kalian beri.
” Belum juga Mas Toni selesai bicara, suara tangis sudah sangat memecah telinga. Ini benar-benar suara tangisan yang penuh kedukaan sangat dalam. Begitu pula aku. Akupun mulai sesenggukan. Airmataku mulai jatuh. Kembali aku teringat kesusahan orang tuaku dalam membesarkanku. Bagaimana mereka bekerja mati-matian untuk bisa menyekolahkanku. Aku semakin tak tahan. Hatiku sesak dan semakin sesak. Sampai bapakku meninggal, aku tidak sempat membalas budi. Membelikan sarung peci saja tak sempat. Semakin merenungi semakin deras airmata ini tercurah. Semakin ku ingat bapakku, semakin tangis ini bertambah menderu. Sampai akhirnya aku tak tahan lagi menahan sesak ini.

“Bapaaaakkkkkk. Bapaakkkkkkkk. Maafin anakmu Pak. Maafin aku. Bapaaakkkkk.” Terus ku berteriak sekencang kencangnya. Ku panggil bapakku. Ku keraskan suara tangisku. Ku menangis separah parahnya. Menggeru penuh duka. Sudah lama aku jauh dari airmata. Inilah puncak kesedihanku. Semua penderitaan hidupku, pengorbanan bapakku dan segala kebodohanku bagaikan pemicu airmata ini untuk semakin menambah kecepatan derunya semakin menggeru. Deras tertumpah. Basah penuh gundah bercampur amarah.

Aku sudah lupa diri. Aku tidak terkontrol lagi. Aku berdiri dan mengamuk mencoba memukuli wajahku sendiri dan sesekali memukul kuat tembok keras. Segera aku di serang Mas Toni. Di tabrak dan di peluk aku erat. Beberapa sahabatku membantu Mas Toni agar bisa menenangkanku. Aku terus berontak. Beberapa kali akau menjatuhkan sahabatku sendiri. Terus berontak dan membabi buta. Terdengar teriakan ratih untuk memintaku tenang dan berhenti beremosi.

“Stop bang. Stoooopp. Istigfar bang. Istigfar.“ Teriak Ratih sambil terus menangis menggeru-geru.

“Yok stop! Sadar. Heh sadar. Ini gua Arif. Sadar! sadar yok!“ Arif mencoba menenangkanku dari depan. Bukannya semakin tenang, aku malah semakin kesurupan. Aku semakin brutal. Terus meronta dan berteriak memanggil bapakku sambil menangis sekencang kencangnya.

“Plaakkkk…Ploookkkkkk…Plaaakkkkkk.” Anjingg loe yah. Stoopppp. Stoopppp Priyooooo.“ Arif menamparku berkali-kali sangat keras. Dia berteriak sangat kencang dan penuh amarah.

Aku sungguh sakit merasakan sakit yang teramat. Sejak tamparan itu aku mulai sedikit tenang. Rasa sakit di pipiku membuat aku meringis kesakitan. Arif memelukku sambil menangis terisak juga.

“Yok! Gua tau luh. Gua ngerti kalau lo lagi sedih sekarang. Tapi control Yok. Ayo kita nangis bareng. Lo lihat gua sekarang. GuA juga nangis. gua juga sedih. Kenapa sampai segede ini gua masih minta makan sama orang tua gua?“ Di pegangnya kepalaku dan di tatapkan ke wajahnya.

“Ayo kita jadikan pelajaran ini semua agar kita bisa cepat-cepat bahagiain orang tua kita. Ayo kita sama-sama berjuang.
Malam semakin dingin. Suara jejangkrikkan berubah hilang berganti sesenggukan tangis. Kami semua terlarut dalam sedih. Mengingat orang tua kami masing-masing. Sudah sebesar ini kami belum bisa balas budi. Dari kecil di besarkan menjadi besar tapi belum bisa membahagiakan.


Angin malam berubah menjadi udara pagi bercampur kabut embun. Malam terakhir ini sangat menjadi pelajaran berkelas tinggi buat kami. Setelah menutup dengan kata petuah bermutiara, Mas Toni pun mengucapkan kata pisah dan meminta maaf atas segala hal yang apabila melukai hati. Kami semua saling berjabatan bergantian. Mas Toni dan teamnya sangat menyadarkan kami.
Yaaahhh inilah fungsi CRM
Crew resource Management….
Reflection…..





Inilah puncak kesedihanku. Semua penderitaan hidupku, pengorbanan bapakku dan segala kebodohanku bagaikan pemicu airmata ini untuk semakin menambah kecepatan derunya semakin menggeru. Deras tertumpah. Basah penuh gundah bercampur amarah.

…Menembus Langit…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar