BAB 55 : RIKA..



# #deras hujan yang turun. Mengingatkanku pada dirimu.
Aku masih disini untuk setia…
Di saat malam datang. Menjemput. Kesendirianku.
Dan bila pagi datang ku tahu. Kau tak di sampingku.
Aku masih di sini untuk setia ##

Ku duduki motorku ini penuh resah. Lagu sendu nan menusuk hati menemani sendiriku. Aku masih menunggu penuh harap di depan sebuah emperan toko berkaca besar bertuliskan Maju Jaya Makmur yang berada tepat di belakang Sarinah Thamrin Jakarta. Penuh resah bergelisah menunggu kekasih hati keluar dari sebuah toko besar bertuliskan Ramayana. Perusahann besar yang menjual beragam pakaian. Rika. Wanita tinggi langsing berambut panjang keturunan bangsawan Makasar. Tinggginya hampir menyentuh pundakku. Apabila kami berjalan bagai angka 11. Derasnya hujan masih menjatuhi bumi. Gelapnya malam semakin memberi kesan mencekam. Mataku terus menatap toko besar itu. Satu persatu wanita penjaja pakaian keluar berhamburan kehujanan. Yahh itu dia. Semampai tubuh berambut panjang bercelingak-celinguk menatap ke arahku. Akupun berlari menghampirinya. Beratapkan jas hujan yang compang-camping sudah termakan usia. Berdua kami saling berpeluk erat. Menatap jalan beriak. Terciprat kaki menghempas genangan. Tetesan air jatuh di kepala membasahi rambutnya nan hitam tergerai panjang.Ku usap rambutnya. Membelainya. Ku raba mesra penuh rasa. Ku usir paksa sisa air membasah kuhempas ke bumi. Senyum menggoda dan cubitan mesra ku dapati sebagai bentuk terima kasih karena aku begitu peduli.

“Iihhh ayank romantis banget sih.“ Ucapnya mesra menggoda sambil berkalinya aku di cubiti.

Melihat hujan tak Nampak berhenti. Melihat larutnya malam terus menjadi. Kamipun memutuskan untuk berkendara di bawah hujan. Ku pacu motorku sangat pelan dan hati-hati. Kucuran sang hujan terus terusan membasah. Kurasakan dingin semakin menggigil membasahi tubuh kami. Pelukannya semakin erat bagai tali layangan tak ingin terputus. Terus aku di rengkuhnya. Hembusan nafasnya terasa hangat. Mendesah di leherku. Sesekali bibir itu menyentuh lembut. Menempel hangat sungguh geli bercampur nikmat. Melihat tubuhku menggelinjang keenakan. Bagai merasa di beri umpan, aku malah di serang habis habisan. Kail di makan nyangkut terus-terusan. Di lumatnya leherku penuh gairah. Terus menjalar si bibir sampai ke pipi. Semakin jauh sampai menyentuh ujung bibirku. Di kecupnya penuh lembut. Tubuhku bagai di sengat petir walau hujan ini tak berpetir. Badanku kejang teraliri setruman tiang litrik tumbang menghalang bangkai di pinggir jalan. Berkilat kilat mengeluarkan sengat di sekitaran.

“Yank. Udah dong ahh. Lagi nyetir nih. Bahaya nanti jatuh.” Pintaku Mengemis untuk menyudahi tapi bibirku terus-terusan dikecup erat tak mau di lepas. Pintaku sedikit manja melebihi manjanya para waria kala tak laku ketika pagi menjelma. Jual diri murah daripada tak ada bahkan jual servis gratis tak kala pelanggannya ganteng berbadan modis. Bukannya berhenti malah semakin menjadi. Kali kepalang tanggung, terus di kulumnya bibirku dari samping. Aku menyetir sambil memiringkan kepala. Semakin lama kok semakin nikmat. Mataku melotot ke depan tapi bibirku di sedot ke belakang. Terus kami dipacu birahi. Melumat-lumat saling menyantap. Basahnya air hujan semakin membasahi bibir kami.

Ingin sekali ku satukan basah tubuh kami ini agar berasa hangat.Bertelanjang ria mengikat diri memeluk diri. Dua tubuh menjadi satu. Bertelanjang diri di malam hari, di hujani deras membasah diri. Saling berdiri tegak memeluk erat. Bibir atas menjilat, bibir bawah tertusuk tonggak. Lamunanku terus mengembara menuju sesuatu yang indah tiada tara. Karena enak dengan situasi nikmat tapi takut tak selamat, akupun memutuskan untuk berhenti berteduh diri. Akupun menepi di sebuah emperan warung gubuk kaki lima tak bertuan. Suasana sepi gelap berkabut gelap. Menengok kanan kiri tiada Nampak orang berwujud, diapun segera ku serang dengan jurus kekuatan bulan. Langsung ku caplok bibir sensunya penuh gairah tinggi. Nafas terengah, serangan bertubi tak terhenti. Melumat kiri, di lumat ke kanan. Berperang lidah, terus tersedot penuh pasrah. Aku terkaget dan membelalak mata ketika di cengkeramnya tonggakku yang terbungkus kain segituga biru. Mengeras dia semakin terperanjat. Di elus-elus sampai manggut manggut. Cengkeraman itu membuatku semakin berang. Segera ku balik menyerang. Setelah letih bibir atas ku lumat, ku sibakkan kaos merahnya ke atas. Ku singkap pula kain kaca mata berwarna ungu berenda merah bermotif hati.

Terkuaklah dua gundukan halus putih mulus berpucuk merah. Sungguh luar biasa indah Pemandangan dua bukit ini. Uuuhhh. Aku menelan ludah. Mengecap lidah. Memonyongkan mulut dan segera jurus ayam mematok cacing siap menyerang.
Ku jilati dua pucuk merah penuh rasa. Terkadang ku sisir, terkadang berkeliling, terkadang ku hisap bahkan sampai ku telan habis-habisan. Tak cukup sampai di sini, jemari tangan mengerayang memelintir di pucuk bukit kiri. Mulut bibir menenggelamkan diri di pucuk bukit kanan, tangan kanan mengembara ke hutan kelam mencari goa kegelapan. Aaahhhh. Semak belukar sudah terasa, mulut goa makin kentara ku rasa. Ku coba menusuk masuk ke mulut goa tapi banjir lumpur sudah melanda. Basah bercampur hangat. Jurus jari tengah saktipun siap beraksi menambah banjir ini semakin besar. Ku usap-usap naik turun. Lengket semakin mengundang nikmat. Desah menderu semakin seru. Tangan kiriku, mulutku dan tangan kananku terus bekerja bersamaan tiada lelah. Aku memacu diapun terpacu. Tangan kanannya tiada henti mengelus merajang si tonggak batu. Sungguh situasi berkelas dan berseni tinggi. Di ruang terbuka, di bawah gubuk usang tak bertuan, di temani deras hujan bergemiricikan bagai musik yang di mainkan romantis oleh sang alam. Aaahhhh sungguh seni tingkat tinggi.

Rika..Rika….Rikaaaaaaaa oohhhh yeessss…

Setelah usai melaksanakan hajat, kamipun kembali menerabas derasnya hujan menuju pulang. Kami tertawa puas dan sangat lega. Tibalah kami di depan rumah sederhana. Sesosok badan tinggi berpeci hitam, berwajah paruh baya, bersarung merah berdiri tegak mendekap tangan penuh kerisauan. Ku turunkan Alma tepat di depan terasnya. Akupun ikut turun ingin berniat mengantarnya.

‘’Rika masuk kamar langsung. Dan kamu..” Suara bernada tinggi, seperti marah. Berucap serasa tak senang. Di tunjuk-tunjuknya aku dan di panggil dengan nada kasar.

“Kamu tahu keluarga kami ini siapa ? Kami ini adalah keturunan berdarah biru dari bangsawan Makasar. Sudah pasti anakku ini akan kami jodohkan dengan lelaki keturunan derajat dan kasta yang sama. Itu tradisi kami. Saya berharap kamu menjauhi anak saya sekarang.” Astaga. Orang tua Rika ternyata sangat marah tidak senang dengan hubungan kami. Dia akan menjodohkannya secara adat. Inilah alasan mengapa rika tidak pernah mengizinkan aku untuk bersinggah ke rumahnya.
Akupun berlalu pergi di iringi sedih. Ku pacu motorku penuh layu. Malas berjalan, lunglai di jalan. Berjalan tertatih tak ingin berlari….

“Rikaaa….Rikaaaa…” Terperanjat aku penuh kekagetan. Tiba-tiba saja aku berada di atas kasur empuk di kamar bagus. Yaaaahh. Aku bermimpi. Rika telah menjadi bunga tidurku yang membawaku ke masa lalu. Rika berlalu menjauhiku. Bersama adat di mengabdi. Menjadi ratu untuk pangeran suku. Selamat jalan Rika….


Ku jilati dua pucuk merah penuh rasa. Terkadang ku sisir, terkadang berkeliling, terkadang ku hisap bahkan sampai ku telan habis-habisan. Tak cukup sampai di sini, jemari tangan mengerayang memelintir di pucuk bukit kiri. Mulut bibir menenggelamkan diri di pucuk bukit kanan, tangan kanan mengembara ke hutan kelam mencari goa kegelapan.

...Menembus Langit…
..

1 komentar: