BAB 50 : INGIN DI BUDAK



Hari ke hari ku habiskan waktuku di ruangan putih penuh kaca besar terpampang di segala sudut menghias dinding menggoda kami untuk terus berkaca diri. Tak terasa aku sudah satu bulan berjibaku dengan bermacam materi. Setiap hari otakku selalu di kunjungi materi baru. Belum juga materi yang lama merehat diri mencari ruang longgar, tapi sudah tertindih terhimpit si pendatang baru. Otakku terus di tumpuk dan tertumpuk. Bagai makanan tak beraroma tanpa rasa. Kadang ku cerna kadang ku muntahkan. Terkadang mengerti, kadang masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Selain mengenai padatnya soal materi, aku juga semakin berbenah dalam menghargai penampilan diri. Parfum berkelas pemberian Arif membuatku makin percaya diri. Sahabatku Ratih yang selalu menjadi hairstylist pribadiku. Setiap kali masuk kelas selalu saja mengacak-acak dan mengayakan rambutku. zul yang punya segudang dasi berharga tinggi berbagai corak warna. Jauh beda dengan dasiku yang semata wayang berwarna murah usang berharga delapan ribuan. Rido yang menghibahkan sepatu baru pantopelnya hadiah ulang tahun dari mantan pacarnya setelah ketahuan pacar barunya. Setelah berperang cemburu, akhirnya sepatu itupun diperuntukkan untukku. Nordin yang punya selusin celana panjang hitam selalu memberiku kebebasan untuk ku pinjam. Imam yang punya berbotol obat ganteng dan perawatan tubuh, selalu mengajakku berluluran dari kaki, tangan, badan sampai memasker wajah.

“Bro walau kulit kita ga putih tapi setidaknya terlihat bersih. Kalau loe ke Bali, model lelaki kaya kita ini bakal di gandrungi cewe bule bro. Mereka suka sekali sama lelaki berkulit coklat kaya kita ini. Kelihatan jantan, sexi dan garang kalau di ranjang. Seperti kucing yang kukunya mencakar cecabikan daging ikan sampai ke tulang. Mereka bakal telentang telanjang kehabisan daya tak kuat lagi untuk berbusana. Terkapar kapar terkejang sampai mereka berpulas diri tertidur sampai terik pagi menyengat hangat bagian si V. Xixixixixi...“ Imam mengoceh menjurus ke selangkangaan sambil terus menggosok tangannya yang berdaki-daki jatuh berserakan di atas selembar Koran.

Suasana pagi ini seperti sebuah warna. Ragam indah saling menonjol diri, asyik dengan perannya untuk menyumbangkan kecantikan di antara perbedaan. Sungguh berkelas. Semua sahabatku di ruangan ini sangatlah hebat. Aku bangga dengan lingkungan ini. Bangga di satukan dengan sekumpulan pemuda berkelas, pintar, menarik dan berwawasan luas. Tak terbayang andai aku masih menjadi kuli pabrik atau kurir jalanan. Bakal jauh dari panggang. Bakal jauh dari tampan.
“Selamat pagi semuanya.” Tiba saja si Perempuan itu memasuki kelas dan memberi senyum manis walau tak manis. Senyum atau tidak senyum tetap saja terlihat pahit.

“Saya informasikan bahwa minggu depan kalian akan pergi ke puncak untuk mengikuti training kepribadian yang akan di ajarkan oleh para Instructor Merpati. Bagi siapa yang belum melunasi biaya training, harap segera melakukan pembayaran secepatnya.”
Mata Perempuan itu seketika mendaratkan tatapannya ke arahku. Dia tahu kalau sisa pembayaranku 5 juta belum ku lunasi. Bagai tamparan penghianatan yang meremukkan daging tipis di pipiku tak kala aku ketahuan selingkuh.
Sepanjang pelajaran aku jauh dari kata fokus. Pikiranku menggerayang ke sekujur tubuh mencari gelombang terjernih untuk memberiku informasi dewa. Adakah cara untuk mendapatkan uang 5 juta dalam waktu yang singkat ini.
Mengutang tak ada yang mau di utang. Menggadai, tiada barang yang bernilai untuk di gadai. Meminjam bank, tiada jaminan untuk agunan. Kembali aku sangat tersudut. Otakkku serasa mau pecah. Kalau saja ada orang yang mau membeli harga diriku, akan sangat aku terima asal aku di beri 5 juta.

Tak peduli aku sebagai apa. Toh kalupun harus di perbudak, aku siap menjadi budak. Budaklah aku wahai manusia bergelimang harta. Jadikan aku pemuasmu. Hina aku, siksa aku, maki aku, pecuti aku sampai tersungkur menjilati kakimu. Aniaya aku seperti bawang merah yang selalu terus menerus di injak kaki si bawang putih, di bantu bawang Bombay dan bawang hujan.
Training hari ini sangat penuh dengan kegundahan. Ketika usai tiba, akupun memutuskan untuk pulang ke rumah karena besok adalah hari libur. Sepanjang perjalanan tak hentinya aku berpikir keras. Darimana aku mendapatkan uang 5 juta itu. Sampai rumahpun tapi jawaban tak di temukan. Akupun membuat target list. Siapa di antara orang terdekat yang berpeluang bisa ku pinjami uang. Berpuluh orang ku analisa tapi tak ada yang meyakinkan. MUJI. Yahhh.dialah orang terdekatku yang sangat berpeluang. Muji adalah abang-abanganku yang selalu mengajakku nongkrong di kamarnya di temani berpuntung Mariyuana. Pemuda tinggi berkulit putih bersih berkepala botak. Di kamarnya di fasilitasi TV layar datar 32 inc.Tape besar berisikan kaset 2 ruang dan DVD 3 piringan. Kulkas putih yang padat terisi bermacam botolan minuman, buah dan aneka cemilan. Sangat memanjakan diri untuk bermalas diri di ruangan ini.Akupun menceritakan panjang lebar mengenai minatku meminjam uang. Tapi Muji menyayangkan bahwa dia tidak bisa membantu.

“Itu uang besar, susah kalau loe pinjam sebanyak itu secara dadakan. Kalau gua ada pasti gua kasih. Gua dah sebulan ini males kerja. Padahal orderan banyak. Tapi firasat gua lagi ga enak aja. Kalau loe berani ambil resiko, gue bisa bantu lo dapetin uang itu.”
Muji berucap sambil menghisap lintingin kecil berasap pedang. Sangat menyengat sekali aromanya. Muji memang pernah bercerita mengenai pekerjaannya. Dia adalah seorang kurir narkoba. Menghantarkan barang kejam itu dari satu kota ke kota lain. Bersenjatakan api bertaruhkan nyawa, mendewakan nyali untuk menyelamatkan diri dari sang Polisi. Nyali Muji sendiri sangatlah bertolak dengan tampangnya yang terlihat ramah, pemalu, pendiam tapi menghanyutkan. Pernah suatu ketika dulu ada seorang oknum Angkatan Laut yang berseragam tapi berjiwa preman. Selalu membuat Onar. Mabuk-mabukan dan memukuli para anak muda. Tak seorangpun yang berani menghentikan kebrutalan preman berseragam ini.

Suatu ketika oknum ini mabuk berat dan mengacak-acak warung rokok milik orang tua Muji. Spontan Muji mendatangi oknum ini dan di tantang berduel dengan gagah berani. Entah ada angin apa, beberapa anak muda turut serta membantu dan bersama-sama mengeroyok oknum ini sampai babak belur dan terluka parah separahnya. Para anak muda ini juga punya dendam terpedam. Singkat cerita. Akhirnya Muji di penjara. selepas dari penjaralah, Muji mendapatkan pekerjaan ini.
Aku hanya diam membisu. Linting-lintingan ganja terus ku hisap penuh khayal. Ku rasa damai tapi kurasa gelisah. Damai karena pentungan asap-asap kenikmatan ini tapi gelisah karena penuh kekurangan.

Sudah tiga hari aku tak jua mendapat solusi. Tawaran Muji akan menjadi pilihan terakhirku nanti. Di saat sibukku di kelas, Durjana datang dan memanggilku penuh ketus. Akupun memasuki ruangannnya. Di tanyakanlah aku mengenai kapan aku melunasi sisa pembayaranku.

“Saya masih sedang usahakan, mohon sekiranya saya di beri kelonggaran waktu lagi.” Ucapku lirih menatapsi Perempuan itu.
‘’Perusahaan ini punya aturan yang sudah di tetapkan. Tidak bisa saya memberikan kelonggaran waktu yang tidak jelas sampai kapan. Dari awal semua sudah terang benderang saya jelaskan. Kalau kamu memang tidak punya kemampuan membayar seharusnya dari awal kamu mundur. Jadi tidak merepotkan seperti ini.“
Ucapan si Perempuan itu  tajam mengiris hati. Aku hanya terdiam penuh kebingungan.

“Saya tidak mau repot ngurusin masalah kamu. Silahkan kamu sekarang ke ruangan Direktur Operasional. Kamu jelaskan apa maumu di sana. Orang kalau ga mampu ga usah memaaksakan diri. Nyusahin aja.” Ucap Perempuan itu  sangat tidak senang dan berlalu pergi. Akupun berjalan pelan menuju ruangan sang direktur. Langkahku gontai tak bertenaga. Aku terus membungkuk tertunduk menatap lantai putih bersih mengkilat. Memikirkan akankah aku harus mengudurkan diri karena ketidakmampuannku ini atau haruskah aku menerima tawaran Muji. Bertaruh nyawa demi 5 juta. Bagaimana kalau aku tertangkap dan dipenjara berpuluh tahun. Suramlah masa depanku.
Tibalah aku di depan sebuah ruangan besar. Berpintu kayu kokoh melekat sepapan nama bertuliskan direktur operasional “Kapten Sasongko wijaya”. Kuberatkan hati mengetuk pintu, masuk ke dalam ruangan dan bercakaplah aku dengan sang kapten.
Ucapan sang kapten semakin membuatku kepalaku frustrate. Dia hanya memberikan aku waktu beberapa hari saja untuk menyelesaikan pembayaran, kalaupun tidak, aku di mintanya untuk mengundurkan diri dari training ini. Aku benar sungguh tersiksa dengan keadaan ini.
Kembalilah aku memasuki ruang kelas. Seluruh sahabatku di ruangan ini menatapku penuh wajah iba. Arif dan Ratih menghampiriku di saat kami menjelang pulang.

“Bang mohon maaf. Aku dan Arif tidak bisa bantu banyak. Aku sudah bicara sama bang Arif. Kami Cuma bisa bantu abang satu juta. Wanita stress itu sudah menceritakan semua permasalahan abang di kelas ini. Memang dasar tuh orang. Lagi kesusahan butuh bantuan malah dipergunjingkan dan menyalahkan abang.“
Ratih menjabat tanganku dan memberi kekuatan. Sangat baik sekali dua sahabatku ini.

“Yok sekarang kamu tinggal usahakan uang 4 juta lagi. kira-kira kamu ada peluang tuk dapetin uang itu ga?” Tanya Arif penuh kegelisahan. Di sela perbincangan kami, Ilma terlihat datang menghampiri dan menjabat tanganku memberi kekuatan semangat. Wacik, Ridho, Nordin dan Iman, zul serta seluruh sahabat di ruangan ini menghampiriku dan memberiku dukungan untuk terus berusaha.

‘’Terus berusaha ya Yok. Pasti ada jalan. Kamu terus berusaha ya. Aku yakin kamu bisa dapetin uang itu.“
Ucapan Ilma yang lembut sangat membuatku terharu. Dari binar matanya terpancar kesedihan. Aku hanya tersenyum mengucap terima kasih dan berharap mukzizat itu datang.

Akupun pulang menuju rumah bertemu dengan Emakku. Aku sudah putuskan bahwa aku akan menyerah saja. Sudah terputus jalanku menuju inginku. Semua akan berakhir hari ini. Mulai besok aku tidak akan mengikuti training lagi. Ini bukan jodohku. Benar kata si Perempuan itu, dari awal memang aku memaksakan diri berada di lingkungan yang jauh dari peradabanku.
Ini hari pertama kali aku tidak mengikuti training. Aku terus mengurung diri di kamarku. Puluhan panggilan telepon tak ku jawab. Telepon itu selalu berdering. Bunyi sms datang bersautan. “Bang...kenapa ga masuk training hari ini ?” Sms Ratih ku baca tanpa balas.

“Yok...Loe ga dapat sisa 4 jutanya?“ Sms Arif menanyakan. Belum lagi sms temanku yang lainnya, Rama, Imam, Djarot, Rendra, Ilma dan lainnya. Mereka semua adalah sahabat yang baik. Penuh peduli. Mereka semua memikirkan kekukrangan dan kesusahanku. Berharap aku bisa bergabung lagi.
Sudah dua hari aku mengurung diri dan tidak mengikuti training. Ratih berpuluh kali menelponku. Akhirnya aku kasihan juga melihat usahanya yang terus menerus tiada henti menghubungiku.

“Bang ayo bang masuk kelas. Kita semua kehilangan abang. Aku udah mau minta iuran sama semua teman di kelas untuk bantuin kekurangan abang. Ga tau dapatnya nanti berapa, tapi setidaknya abang datang dulu lah bang. Please bang.” Suara ratih terdengar sedih mengiba.

“Datang ya Yok. Gua ga mau tau. Loe harus datang ke sini. Jangan kabur begini. Ayo kita hadapi masalahmu bareng – bareng.” Suara Arif menimpali.
Segera ku sudahi pembicaraan ini tanpa ku membalas ucap. Lagi-lagi tubuhku gemetar. Jantungku berdetak cepat bagai suara sepatu kuda di pecut sang kusir tua. Sedih, menangis dan amarah telah menyiksaku.

“Anjinggggg....bangsaatttttttttt.“ Akupun menggerang sambil mengiba diri. Kesal tak terhingga. Emosi tak bergejolak menusuk hati. Dasarrrrrr orang miskinnnnnn..


Tak peduli aku sebagai apa. Toh kalupun harus di perbudak, aku siap menjadi budak. Budaklah aku wahai manusia bergelimang harta. Jadikan aku pemuasmu. Hina aku, siksa aku, maki aku, pecuti aku sampai tersungkur menjilati kakimu.

…Menembus Langit…

1 komentar: